MENITNEWS.COM, MAKASSAR — Salat Tarawih, sebagai ibadah sunnah yang dilaksanakan pada bulan Ramadan, telah menjadi bagian penting dalam kehidupan umat Islam.
Di antara banyaknya tradisi yang berkembang, satu pertanyaan yang sering muncul adalah apakah benar Umar Bin Khattab yang pertama kali menetapkan salat Tarawih menjadi 20 rakaat?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita telusuri sejarah perkembangan salat Tarawih sejak zaman Rasulullah SAW, hingga masa pemerintahan Umar Bin Khattab dan seterusnya.
Tarawih Pada Zaman Rasulullah SAW
Pada masa Rasulullah SAW, Salat Tarawih dilaksanakan sebanyak 11 rakaat, yang terdiri dari 8 rakaat Tarawih dan 3 rakaat Witir. Sebagaimana diriwayatkan oleh istri Rasulullah, ‘Ā’isyah RA.
Praktik ini menjadi teladan umat Islam dan dilaksanakan secara berjamaah di Masjid Nabawi pada setiap malam Ramadan. Tidak ada indikasi bahwa Rasulullah SAW mengajarkan jumlah rakaat yang lebih banyak atau lebih sedikit dari itu.
Salat Tarawih Pada Masa Khalifah Umar Bin Khattab
Ketika Umar Bin Khattab menjadi khalifah, beliau melihat bahwa umat Islam semakin banyak yang melaksanakan salat Tarawih berjamaah.
Untuk menertibkan dan memudahkan umat, Umar memerintahkan agar Salat Tarawih dilakukan secara berjamaah dengan jumlah rakaat yang tetap yakni 11 rakaat, sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat, tidak ada riwayat sahih yang menyebutkan bahwa Umar Bin Khattab yang menetapkan jumlah rakaat menjadi 20.
Pada masa Khulafa Rasyidin (termasuk Umar, Utsman, dan Ali), jumlah rakaat Tarawih di Madinah tetap 11 rakaat. Tidak ada catatan bahwa jumlah rakaat Tarawih berubah selama mereka memerintah.
Pandangan yang Berbeda: Umar dan Salat Tarawih 20 Rakaat
Namun, ada pandangan lain yang muncul dari ulama seperti Ibn Al-Mulaqqin, yang menyebutkan bahwa pada awalnya Umar menetapkan 11 rakaat, tetapi kemudian mengubahnya menjadi 20 rakaat.
Sayangnya, klaim ini tidak didukung oleh riwayat yang jelas dan sahih. Ibn Al-Mulaqqin menggabungkan dua riwayat, yaitu atsar Yazīd Ibn Khuṣaifah dan Muḥammad Ibn Yūsuf, namun tidak ada bukti riwayat yang sahih untuk mendukung bahwa Umar secara resmi mengubah jumlah rakaat menjadi 20.
Jika pun ada riwayat yang menyebutkan beberapa sahabat melaksanakan Tarawih 20 rakaat secara pribadi, hal tersebut tidak menunjukkan adanya keputusan resmi dari Umar untuk mengubah praktik jamaah di Masjid Nabawi.
Perubahan Pada Masa Mu‘awiyah Bin Abi Sufyan
Seiring berjalannya waktu, pada masa pemerintahan Mu‘awiyah Bin Abi Sufyan, beberapa tahun menjelang Perang Al-Ḥarrah (63 H/683 M), terjadi perubahan jumlah rakaat Tarawih di Masjid Nabawi. Jumlah rakaat ditambah menjadi 36, dan pada akhirnya menjadi 39 rakaat (termasuk 3 rakaat Witir).
Hal ini bertahan hingga abad ke-4 H, ketika Dinasti Fatimiyah yang beraliran Syiah menguasai Hijaz dan kembali menetapkan 20 rakaat sebagai jumlah Tarawih yang sah.
Praktik Tarawih Pada Masa Dinasti Saudi
Pada abad-abad selanjutnya, Salat Tarawih mengalami berbagai perubahan jumlah rakaat, tergantung pada pengaruh politik dan kekuasaan yang ada.
Pada masa Dinasti Saudi, yang berkuasa di Jazirah Arab sejak abad ke-14, Salat Tarawih akhirnya ditetapkan menjadi 20 rakaat dan tetap dipraktikkan hingga kini di Masjid Nabawi, Madinah.
Meskipun terdapat variasi dalam jumlah rakaat Tarawih dari masa ke masa, kita harus kembali merujuk pada teladan yang paling otentik dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda:
“Salatlah sebagaimana kamu melihat aku salat.”
Hal ini yang mengajarkan bahwa praktik yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah acuan utama bagi umat Islam.
Dengan demikian, berdasarkan riwayat yang ada, tidak ada bukti sahih yang menunjukkan bahwa Umar Bin Khattab, yang pertama kali menetapkan Salat Tarawih menjadi 20 rakaat. Pada masa beliau, Salat Tarawih tetap dilakukan sebanyak 11 rakaat, dan penetapan 20 rakaat baru terjadi jauh setelah masa Khulafa Rasyidin.
Sebagai umat Islam, mari kita terus mengikuti ajaran Rasulullah SAW dan menjaga keaslian ibadah kita, baik dalam jumlah rakaat maupun dalam kualitas pelaksanaannya. (*)
Comment