MENITNEWS.COM, BONE — Sempat viral karena disangka ada pernikahan sesama jenis, ternyata tidak. Bukan pernikahan sesama jenis, tetapi mempelai pria di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, ternyata punya dua alat kelamin atau berkelamin ganda.
Di sebuah Dusun tenang di Kecamatan Cina, Kabupaten Bone, gaung resepsi pernikahan yang biasanya disambut syukur, justru berbalik jadi bisik-bisik. FM, mempelai pria berusia 44 tahun, menikahi TR yang berumur 32 tahun.
Namun bukan perayaan atau pelaminan yang jadi buah bibir, melainkan dugaan bahwa sang mempelai pria bukanlah pria tulen, melainkan sesama perempuan. Mereka menduga terjadi pernikahan sesama jenis.
Masyarakat Dusun Lacuco gelisah. Kabar itu cepat menjalar dari satu telinga ke telinga lain, hingga sampai ke Kepala Desa Arasoe, Andi Amal Pahsyah.
Tak ingin spekulasi tumbuh jadi fitnah, ia mengundang FM dan istrinya untuk duduk bersama di rumah Kepala Dusun. Di sanalah, dalam ruang yang biasanya menyimpan urusan administrasi Desa, terkuak satu kebenaran yang tidak biasa.
FM ternyata memiliki kelamin ganda aliaa interseks, kata medisnya. Sebuah kondisi langka yang dalam kebanyakan kasus tidak dipilih oleh siapa pun yang mengalaminya. Bukan pula sebuah aib, apalagi pelanggaran moral.
“Saya bilang jujur ki, tapi mereka bilang laki-laki ji,” tutur Amal.
Untuk memastikan, FM diminta menjalani pemeriksaan medis. Hasilnya menunjukkan bahwa secara dominan, FM adalah laki-laki, meskipun memiliki lubang vagina yang sangat kecil.
“Yah 80 persen dia laki-laki,” ucap Amal, setengah tak percaya, setengah takzim.
Takdir ini, menurut Amal, bukan kehendak siapa pun.
“Inilah kuasa Tuhan,” ucapnya singkat.
Kalimat itu menggema bukan sebagai dalih, tapi sebagai penerimaan yang penuh rasa takut dan haru.
TR, sang istri, berdiri teguh di samping suaminya. Tak ada ragu, tak ada malu.
“Perkasa ji suamiku,” katanya mantap, membantah segala prasangka yang ingin membungkam cinta mereka.
FM sendiri, meski berperawakan mirip perempuan, telah hidup sebagai laki-laki dan diakui begitu oleh pasangannya.
Pernikahan ini, meski awalnya diguncang curiga, justru membuka ruang pemahaman bagi banyak orang tentang keberadaan khunsa—istilah dalam fikih Islam untuk orang dengan kelamin ganda.
Dalam hukum Agama, keberadaan khunsa bukan hal baru. Ia disebut, dijelaskan, dan memiliki ruang sah dalam sistem sosial yang adil.
Kini, Desa kembali tenang. Pernikahan itu tetap sah, dan cinta mereka tak lagi jadi bahan tanya. Yang tersisa hanyalah pengingat bahwa manusia datang ke dunia bukan dengan kehendaknya sendiri, dan bahwa tak semua yang berbeda harus ditolak atau dicurigai. (*)
Comment