MENITNEWS.COM, MAKASSAR — Sebuah sindikat pemalsuan uang (upal) di Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Sulawesi Selatan, pernah menggemparkan publik.
Pejabat UIN Alauddin, Andi Ibrahim dan kawan-kawan, dalam Sidang di Pengadilan Negeri Sungguminasa, Kabupaten Gowa, mengungkapkan rencana mereka yakni uang palsu senilai Rp600 juta itu awalnya tidak untuk dibelanjakan, melainkan ditukar dengan uang reject atau uang yang sudah tidak layak edar, dan menunggu untuk dimusnahkan oleh Bank.
Sidang yang digelar pada Rabu, 28 Mei 2025 lalu, menghadirkan pengakuan mengejutkan dari Andi Ibrahim. Kepada Hakim Ketua Dyan Martha, ia menyebutkan bahwa uang palsu itu hanya sempat ditawarkan ke seseorang yang kemudian tak pernah muncul lagi.
“Ada orang yang mau ambil uang itu, namun tidak pernah datang lagi,” beber Andi Ibrahim.
Lebih jauh, Muhammad Syahruna yang ikut dalam sindikat ini, membeberkan bahwa percakapan soal penukaran uang palsu dengan uang reject bank berlangsung di sebuah kafe.
“Katanya nanti (uang palsu) dipakai untuk uang reject, yang dari Bank mau dimusnahkan,” katanya di persidangan.
Uang palsu senilai Rp600 juta ini dicetak empat kali. Tiga di antaranya di Gedung Perpustakaan UIN Alauddin Makassar. Namun, niat awal mereka beralih saat uang palsu tersebut justru berujung pada transaksi gelap.
Sebagian besar uang palsu itu, yang awalnya disimpan oleh Andi Ibrahim, akhirnya dijual kepada Mubin Nasir, mantan Honorer UIN Alauddin Makassar. Persidangan juga menguak bagaimana Mubin, yang sedang butuh uang, menerima Rp1 juta uang palsu dari Andi Ibrahim pada Oktober 2024 lalu.
Sadar bahwa ini uang palsu, Andi Ibrahim mengaku sempat sulit tidur. Namun, transaksi serupa terus berulang. Uang palsu berganti tangan: Rp 1,5 juta, Rp 50 juta, Rp 20 juta, Rp 10 juta, hingga Rp 17,5 juta – total Rp 150 juta uang palsu yang berpindah, sementara Andi Ibrahim menerima Rp 65 juta uang asli dari Mubin.
“Saya tidak tahu. Itulah kesalahan saya,” elak Andi Ibrahim di hadapan Jaksa.
Pengakuan yang membuka tabir betapa uang palsu, uang reject, dan kebutuhan mendesak bisa menyulut praktik gelap yang merugikan banyak pihak. (*)
Comment