Kajian Jumat Istiqlal: Keagungan Nabi Muhammad SAW dan Para Sahabatnya (Tafsir QS Al-Fath: 29)

Masjid Istiqlal (Foto: masjidnusantara)

ads
ads

JAKARTA, MENITNEWS.COM— Pada kesempatan kali ini mari mencermati tafsir ayat yang terakhir dari Surah al-Fath yang menjelaskan tentang keagungan dan keutamaan Baginda Rasulullahi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ مَعَهٗٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ تَرٰىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْدِ ۗذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ  ۖوَمَثَلُهُمْ فِى الْاِنْجِيْلِۚ  كَزَرْعٍ اَخْرَجَ شَطْـَٔهٗ فَاٰزَرَهٗ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوٰى عَلٰى سُوْقِهٖ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗوَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنْهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا ࣖ

Artinya: “Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang-orang kafir (yang bersikap memusuhi), tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud (bercahaya). Itu adalah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu makin kuat, lalu menjadi besar dan tumbuh di atas batangnya. Tanaman itu menyenangkan hati orang yang menanamnya. (Keadaan mereka diumpamakan seperti itu) karena Allah hendak membuat marah orang-orang kafir. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Fatḥ [48]:29)

Pada kajian yang lalu kita membahas peristiwa Perjanjian Hudaibiyah dan bagaimana sikap Rasulullah dan para sahabatnya saat itu pada bagian akhirnya ini ada penegasan tentang mengapa kemudian Islam dan ajarannya itu menjadi agama dan ajaran yang unggul dibanding yang lainnya? kunci kemenangan fathan mubinan itu ada pada sosok Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya ini yang dibahas di ayat yang ke-29 jadi konteksnya itu masih berkaitan dengan konteks perjanjian hudaibiyah yang melatar belakangi turunnya Surah al-Fath ayat ke 29 “Inna fatahna laka fathan mubina liagfirakallah…” dan seterusnya.

Pada kesempatan yang lalu kita Jelaskan bahwa sebab nuzul atau konteks turunnya surah ini yaitu setelah Perjanjian Hudaibiah yang tadinya Nabi dengan Sahabatnya ingin berumrah lalu kemudian dihadang dan tidak bisa memasuki Makkah tidak bisa berumrah di tahun itu dan mereka harus kembali dan ada beberapa pasal perjanjian itu yang sekilas mengesankan umat Islam itu kalah, karena enggak boleh masuk Makkah kemudian kalau ada orang Mekah yang datang ke Madinah harus dikembalikan kalau ada orang dari Madinah pengikut Nabi yang kembali ke Makkah tidak harus dikembalikan.

Sekilas seperti kekalahan tapi Nabi atas dasar tuntunan wahyu sangat yakin bahwa ini adalah Fathan Mubinan kemenangan yang sangat nyata, di sinilah indahnya surah-surah al-Qur’an itu antara permulaan dengan penutupnya itu berhubungan erat ada munasabah ada korelasi yang erat, jadi kalau pada ayat yang pertama itu disebut fathan walaupun mereka harus kembali ke Madinah tanpa berumrah tapi pada ayat-ayat yang terakhir Allah sekali lagi menegaskan bahwa janji Allah itu benar bahwa umat Islam itu nanti akan masuk ke dalam Masjidil Haram melakukan umrah dengan rasa aman tanpa ada gangguan.

Pada tahun ke-6 Hijriah masih dihadang dan terbayarkan di tahun berikutnya, maka pada Surat al-Fath ayat ke-27 :

لَقَدْ صَدَقَ اللّٰهُ رَسُوْلَهُ الرُّءْيَا بِالْحَقِّ ۚ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ اٰمِنِيْنَۙ مُحَلِّقِيْنَ رُءُوْسَكُمْ وَمُقَصِّرِيْنَۙ  لَا تَخَافُوْنَ ۗفَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوْا فَجَعَلَ مِنْ دُوْنِ ذٰلِكَ فَتْحًا قَرِيْبًا

Artinya: “Sungguh, Allah benar-benar akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenar-benarnya, (yaitu) bahwa kamu pasti akan memasuki Masjidilharam, jika Allah menghendaki, dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala,696) dan memendekkannya, sedang kamu tidak merasa takut. Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui dan sebelum itu Dia telah memberikan kemenangan yang dekat.” (QS. Al-Fatḥ [48]:27)

Sungguh, Allah benar-benar akan membuktikan kepada RasulNya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenar-benarnya, (yaitu) bahwa kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, jika Allah menghendaki, dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan memendekkannya, sedang kamu tidak merasa takut. Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui dan sebelum itu Dia telah memberikan kemenangan yang dekat.

Hal ini terjadi di tahun ke-7, hanya selang setahun di bulan Zulqaidah tahun ke-7 Nabi sudah kembali lagi yang disebut dengan umratul qadha, umrah yang tertunda, jumlahnya sudah semakin banyak. Kalau saat Hudaibiyah itu hanya 1.400 orang, namun saat umratul qadha pada tahun berikutnya sudah 2.000 orang yang ikut bersama Nabi untuk berumrah dan di tahun berikutnya tahun ke-8 Hijriah terjadilah Fathu Makkah di bulan Ramadhan, dan datang bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sudah 10.000 orang, inilah fathan mubinan yang terjadi dalam 2 (dua) tahun setelah Perjanjian Hudaibiyah.

Hal ini menjadi penegasan tentang kerasulan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan ajaran yang dibawa itu adalah ajaran al-haq, yang akan mengungguli agama-agama yang lain, dan itu sudah mulai terlihat di tahun ke-7 Hijriah saat datang ke kota Makkah, orang-orang kafir Makkah itu sudah mulai was-was melihat 2.000 orang datang mengucapkan labaik Allahumma labbaik, orang-orang kafir dan kabilah-kabilah yang ada di sekitar Makkah pun gentar melihat kekuatan itu ditambah tahun kedelapannya, ada 10.000 orang masuk ke kota Makkah.

Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai rasul yang itu ditolak oleh orang-orang kafir Makkah khususnya saat penulisan teks Perjanjian Hudaibiyah ini, Allah subhanahu wata’ala secara tidak langsung mengajarkan kita tentang etika kepada Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam perhatikan di dalam alQur’an penyebutan kata Nabi Muhammad selalu dikaitkan dengan Rasulullah dikaitkan dengan statusnya sebagai Rasul Allah beda sama nabi-nabi yang lain, nabi yang lain itu cuma disebut namanya saja, wa idz qala Nuh, wa idz qala Ibrahim, yaa Nuh wahai Nuh wahai Ibrahim panggilannya seperti itu hanya sekedar nama tapi ketika menyebut nama Muhammad atau Ahmad itu selalu dikaitkan dengan statusnya sebagai Rasulullah.

Contoh : wa maa Muhammadun illa rasulun qod khalat min qablihi Rasul (Muhammad itu tidak lain adalah seorang rasul) ma kana Muhammadun aba ahadin min rijalikum (Muhammad itu bukan bapaknya salah seorang di antara kalian, dan seterusnya).

Al-Quran mengajarkan kepada kita agar memperhatikan etika ketika menyebut nama Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Ketika disebut nama Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam jangan lupa ini sebagai bentuk ucapan terima kasih kita kita bershalawat ketika disebut namanya, bahkan di dalam al-Qur’an juga kita diajarkan kalau la tarfa’u aswatakum fauqo shoutin nabi, dulu para sahabat itu dilarang berteriak manggil-manggil di depan Nabi Muhammad dengan suara keras, harus dengan lemah lembut menjaga etika baik beliau ada maupun tidak ada, hal ini mengajarkan kepada kita tentang keagungan Rasulullah dan sekaligus mengajarkan kepada kita cara kita beretika kepada Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

‘Muhammadun Rasulullah walladzina ma’ahu asyiddau ‘alal kuffari ruhama bainahum’ bagian ini menggambarkan tentang para sahabatnya mereka memiliki sifat dan sikap dan karakter antara lain pertama ini sering disalah pahami karena kalau kita terjemahkan ini artinya tegas keras terhadap orang kafir artinya enggak ada kompromi, tapi perlu diperhatikan al-Qur’an itu konsisten dalam memperlakukan orang kafir non muslim konsisten seperti apa?

Dibedakan antara orang kafir yang memusuhi dan memerangi orang Islam dengan orang kafir non muslim yang ingin berdamai dengan kita itu harus dibedakan, asyiddau alal kuffar ini tidak bersifat mutlak ini terhadap mereka yang memusuhi dan memerangi orang Islam, nah di sini berlaku QS. Al-Mumtahana ayat 8, kalau mereka tidak memerangi kita, tidak memusuhi kita dan mau berdamai dengan kita, tidak boleh kita keras atau kasar, kalau mereka mau berdamai, kita harus berdamai.

Jadi jangan dimaknai secara umum kita harus tegas keras kalau menghadapi orang kafir atau non muslim, dan digambarkan betapa kasih sayang umat Islam itu dalam satu Hadis bahwa seorang muslim dengan muslim seperti satu tubuh, kalau ada bagian satu sakit, maka seluruh anggota tubuh akan merasakan demam akan merasakan panas akan merasakan sakit begitulah mestinya ikatan hubungan solidaritas di kalangan umat Islam itu.

Ruhamaa bainahum dan sifat yang ketiga para sahabat mereka ini orang yang sangat ikhlas sekali dalam beramal, banyak beramal dan ikhlas dalam beramal di sini digambarkan, rukaan sujjadan ruku dan sujud ini sebenarnya simbol bahwa mereka ini adalah orang yang taat beragama karena shalat itu kan ibadah yang paling utama, tidak cari muka, tidak ada niat riya, hanya menginginkan ‘fadl minallahi wa ridwana’ keridhaan Allah itu yang paling paling utama, tujuan akhir kita itu adalah keridaan Allah subhanahu wata’ala.

Seorang yang rajin shalatnya dalam satu ungkapan para ulama, bersumber dari hadis dikatakan orang yang banyak shalatnya di malam hari itu wajahnya itu ceria bersinar di siang hari, dalam satu riwayat dikatakan setiap kebaikan yang kita lakukan, shalat ibadah yang kita tunaikan dengan penuh keikhlasan itu akan memancarkan nur, ada cahaya di dalam hati, dan wajahnya, ada sinar di wajahnya yang akan melahirkan keberkahan rezeki yang luas karena cahaya yang memantul dari hatinya, akan ada sinar yang terpancar dari wajahnya, rezekinya luas dan akan dicintai oleh orang-orang.

Tanda-tanda itu ada diceritakan dalam Taurat dan Injil, dan gambaran umat itu tumbuh mulai dari tunas menguat terus berkembang itulah gambaran umat Islam yang disebut dalam ayat yang terakhir dan Allah menjanjikan “waadallahadina amanu ih minhum magfiratan wa ajran”. Allah menjanjikan dua hal yaitu magfirah (ampunan) dan ajran adziman (pahala yang besar) baik di dunia maupun di akhirat. Demikan, wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sumber:

Oleh : Dr. KH. Muchlis M. Hanafi, MA (Direktur Pusat Studi Al-Qur’an Jakarta)

www.istiqlal.or.id(*)

Comment