Benarkah Imam Mahdi Sudah Datang? Tanda-tandanya Makin Terlihat?

MENITNEWS.COM, MAKASSAR — Dunia sedang gelisah. Kejujuran kian langka, keadilan terasa asing, dan harapan seolah menguap dalam pusaran zaman. Di tengah kekacauan ini, sebuah pertanyaan lama kembali mengemuka: Apakah Imam Mahdi sudah datang?

Imam Mahdi bukan sekadar tokoh misterius dalam literatur eskatologi Islam. Ia adalah simbol harapan. Sosok yang diyakini akan hadir ketika dunia berada di titik nadir—di saat fitnah merajalela, kebenaran dikalahkan oleh tipu daya, dan manusia kehilangan arah.

Dari Nubuat ke Tanda Zaman

Riwayat menyebutkan bahwa kedatangan Mahdi akan didahului oleh banyak tanda: krisis moral, gempa sosial, konflik politik, dan kehampaan spiritual. Saat keadilan hanya menjadi slogan kosong dan para pemimpin tak lagi menjadi pelindung rakyat, saat itulah dunia menanti sosok yang dijanjikan.

Bukan dari istana, bukan pula dari dinasti yang berkuasa. Imam Mahdi diyakini lahir dari keturunan Nabi Muhammad melalui jalur Hasan bin Ali. Ia muncul dari tengah umat, bukan untuk mencari kekuasaan, tetapi untuk menegakkan keadilan yang sejati. Bahkan, dalam riwayat disebutkan, ia akan menolak jabatan sampai dipaksa oleh orang-orang saleh untuk memimpin di depan Ka’bah—sebuah penobatan spiritual yang menggetarkan dunia.

Kepemimpinan yang Mengubah Sejarah

Begitu Imam Mahdi memimpin, dunia berubah. Tidak lagi ada kelaparan. Kekayaan tersebar adil. Kejujuran menjadi budaya. Kedamaian bukan lagi impian. Ia tak sendiri—Isa bin Maryam akan turun dari langit untuk membersamainya, mengalahkan Dajjal, sang pembohong agung, simbol terbesar dari penipuan dan fitnah dunia.

Bayangkan: manusia dan hewan hidup berdampingan dalam damai. Sungai mengalir jernih. Hati manusia kembali tunduk pada Tuhannya. Dunia seakan kembali ke fitrah asalnya.

Namun Tak Selamanya

Riwayat menyebut Imam Mahdi akan memimpin selama tujuh hingga sembilan tahun. Setelah itu, ia wafat. Isa Almasih melanjutkan kepemimpinan hingga tiba masa terakhir: saat bumi kembali dikendalikan oleh penguasa lalim, saat fitnah datang bergulung-gulung, dan bencana alam mengguncang bumi.

Hingga akhirnya, matahari terbit dari barat—tanda bahwa pintu tobat tertutup rapat. Al-Qur’an diangkat dari hati manusia. Ayat-ayatnya lenyap. Binatang melata muncul, menandai yang beriman dan yang ingkar. Lalu sangkakala ditiup. Semesta hening. Dunia pun usai.

Akhir Bukan Segalanya

Namun kematian bukan akhir. Setelah tiupan kedua, manusia dibangkitkan di Padang Mahsyar. Tak ada raja, tak ada harta, hanya amal yang berbicara. Di tengah lautan manusia itu, Imam Mahdi berdiri—bukan sebagai pemimpin dunia, tapi sebagai saksi atas kebenaran yang pernah ia tegakkan.

Ia bergabung bersama para nabi dan syuhada. Pengikutnya—mereka yang setia dan bersih hatinya—ikut bersamanya menuju surga, tempat segala penantian berakhir dalam kedamaian abadi.

Kini, Pertanyaannya: Apakah Kita Siap?

Imam Mahdi bukan legenda untuk ditakuti, bukan pula dongeng pengantar tidur. Ia adalah peringatan bahwa keadilan akan datang, bahwa pemimpin sejati lahir dari kehendak Ilahi, bukan dari panggung politik atau sorotan media.

Yang perlu ditanyakan bukanlah kapan Imam Mahdi datang. Tapi apakah hati kita siap menyambutnya? Apakah kita berada di pihak cahaya ketika kegelapan mulai menyelimuti dunia?

Sebab saat ia benar-benar muncul, hanya mereka yang menjaga nurani dan keimanan yang mampu berdiri di barisannya. Dan saat itu mungkin lebih dekat dari yang kita kira. (*)

Comment