MENITNEWS.COM, GOWA — Di lorong sunyi perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, tepat di sisi kanan toilet, kisah memalukan itu bermula: sebuah mesin cetak offset GM-247IIMP-25 berdiri tegak di balik dinding sekat, menyamar sebagai peralatan tak berfaedah.
Tak satu pun mahasiswa menyangka, tempat mereka menimba ilmu dijadikan sarang produksi uang palsu senilai ratusan juta rupiah.
Di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sungguminasa, Selasa, 29 April 2025 lalu, Jaksa Penuntut Umum membongkar kedok mantan Kepala Perpustakaan UIN Makassar, Andi Ibrahim. Ia tak hanya menyalahgunakan jabatannya, melainkan juga menjadikan kampus sebagai markas sindikat rupiah palsu.
Semua bermula dari ambisi politik: keinginan maju sebagai calon bupati Barru pada Pilkada 2024, membuatnya mencari donatur—dan bertemu dengan Annar Salahuddin Sampetoding, yang kemudian memperkenalkannya pada Muhammad Syahruna, orang yang telah lebih dulu diminta belajar mencetak uang palsu.
Di antara lembaran niat dan lembaran tiruan rupiah, kisah ini berbelok ke jalur gelap. Ibrahim dan Syahruna bersepakat; Ibrahim bahkan menguji hasil cetakan dengan mesin pendeteksi. Buatan Hendra—satu nama dalam daftar buronan—gagal.
Uang palsu buatan Syahruna lolos. Sebuah mesin sunyi menandai keberhasilan kejahatan itu.
Saat rumah Annar tak lagi bisa jadi tempat produksi, Ibrahim menggunakan kewenangannya: memindahkan seluruh perangkat cetak ke perpustakaan. Peralatan berat diangkut dengan truk towing, forklift, Mobil Dinas Kampus.
Dalam remang lorong WC itulah, 6.400 lembar uang pecahan Rp100 ribu dicetak. Total Rp640 juta uang palsu lahir di lembaga pendidikan tinggi itu, tanpa diketahui Sivitas Akademika.
Dari jumlah itu, sebanyak Rp152 juta diserahkan Ibrahim kepada Mubin Nasir, Honorer Kampus, untuk diedarkan dengan sistem pembagian satu banding tiga: satu untuk Mubin, dua untuk pembeli. Uji coba dilakukan dengan Rp1 juta pertama. Sisanya, berlangsung dalam diam—dan dalam dendam aparat yang akhirnya mengendus.
Keuntungan Ibrahim? Uang asli senilai Rp60,5 juta. Harga dari pengkhianatan terhadap amanah dan institusi.
Kini, jaksa mendakwanya dengan pelanggaran berlapis atas UU Mata Uang dan KUHP. Sementara itu, deretan tersangka lain—15 orang semuanya—telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Gowa.
Di antara rak-rak buku dan aroma kertas tua, sejarah perpustakaan itu kini ternoda. Bukan oleh pemikiran radikal atau buku terlarang, melainkan oleh lembaran palsu hasil ambisi politik dan kerakusan akan cuan. (*)
Comment