MENITNEWS.COM, MAKASSAR — Praktik curang dalam seleksi masuk Perguruan Tinggi, kembali mencoreng dunia pendidikan. Polisi mengungkap sindikat Joki Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, yang ternyata telah beroperasi selama empat tahun.
Kapolrestabes Makassar, Kombes Pol Arya Perdana, mengungkapkan bahwa pengakuan para tersangka mengindikasikan sindikat ini telah lama beroperasi. Mereka meraup keuntungan dari para peserta yang menggunakan jasa Joki.
“Ini sudah lama. Empat tahun kira-kira. Kami akan dalami siapa saja yang pernah menggunakan jasa mereka,” bebernya.
Modus operandi yang digunakan sindikat ini sangat sistematis. Mereka menyusupkan aplikasi ilegal ke komputer peserta ujian, meretas sistem, dan melibatkan oknum dari dalam Kampus.
Praktik ini terendus berkat laporan dari Wakil Dekan Unhas, yang mencurigai adanya aktivitas peretasan selama pelaksanaan UTBK.
“Laporan tersebut kami terima, lalu kami telusuri sistem komputer peserta. Dari hasil forensik digital, ditemukan adanya aplikasi yang dipasang oleh orang dalam kampus,” ungkap Arya.
Hasil penyelidikan mengarah pada enam tersangka yang terlibat dalam jaringan ini, yakni CAI (19), AL (40), MYI (28), I (23), MS (30), dan ZR (38). Mereka ditangkap di Makassar pada Rabu, 7 Mei 2025 lalu.
Peran para tersangka bervariasi. Mulai dari teknisi peretas, penghubung peserta, hingga eksekutor ujian.
“Kami sudah menahan keenam tersangka. Mereka terlibat mulai dari penyusupan aplikasi hingga pengerjaan soal untuk peserta,” terang Arya.
Lebih jauh, Polisi juga membuka kemungkinan adanya jaringan serupa dalam seleksi Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) dan rekrutmen di sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Masih dalam penyelidikan. Tetapi dari modusnya, besar kemungkinan jaringan ini menjangkau seleksi lain,” tambahnya.
Keenam tersangka dijerat dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 11 Tahun 2024, khususnya Pasal 48 Ayat 2 Jo. Pasal 32 Ayat 2, atau Pasal 46 Ayat 1 dan 2 Jo. Pasal 30, dengan ancaman hukuman maksimal sembilan tahun penjara.
Kasus ini menjadi alarm keras bagi institusi pendidikan dan Pemerintah untuk memperketat pengawasan dalam sistem seleksi berbasis teknologi. Aparat berkomitmen mengusut tuntas jaringan ini hingga ke akar-akarnya. (*)
Comment