Oleh: Yulius (Camat Tomoni Timur/Ketua TPPS Kecamatan Tomoni Timur)
Di sudut rumah sederhana yang dindingnya mengelupas dimakan waktu, seorang Ibu Muda menyendokkan bubur bayam hangat ke mulut Balitanya. Tak ada kamera yang merekam. Hanya ada keheningan pagi diiringi kokok ayam jantan, dan cinta yang mengalir pelan di antara suapan demi suapan, tekad sunyi untuk memastikan anaknya tumbuh sehat, jauh dari ancaman stunting.
Dari ruang makan yang sempit itu, arah masa depan bangsa sesungguhnya ditentukan. Dari piring kecil yang berisi sayur, telur, dan harapan. Dari tangan-tangan ibu yang memulai hari dengan kasih, bukan konsep.
Hari Keluarga Nasional ke-32 tahun ini, membawa tema yang tidak sekadar menginspirasi, tetapi juga mengingatkan “Dari Keluarga untuk Indonesia Maju”. Sebuah tema yang sederhana, tapi punya makna dalam. Bahwa kemajuan negeri ini tidak dimulai dari atas, melainkan tumbuh dari bawah. Dari rahim ibu, dari pelukan ayah, dari isi piring anak-anak kita.
Di tengah kemajuan zaman, satu fakta masih menghantui. Sekitar satu dari lima anak Indonesia masih mengalami stunting. Meski prevalensinya menurun menjadi 19,8 persen pada tahun 2024, nyatanya lebih dari 4,4 juta anak Indonesia hari ini masih hidup dalam kondisi yang menghambat tumbuh kembang mereka, fisik, kognitif, bahkan masa depannya.
Stunting bukan sekadar soal tinggi badan yang kurang. Ia adalah kisah tentang anak yang kehilangan potensi, gagal berpikir optimal, dan tidak mampu bersaing di masa depan. Dan jika tidak dicegah dalam 1.000 hari pertama kehidupan, kerusakannya bisa bersifat permanen.
Inilah titik kritisnya. Bahwa persoalan sebesar masa depan bangsa bisa bermula dari semangkuk bubur yang miskin zat besi. Dari air minum yang tercemar. Dari ibu yang kurang edukasi gizi. Dari ayah yang hanya tahu nafkah, tapi tak paham asuh. Maka pertanyaannya sederhana, apakah Indonesia siap maju jika anak-anaknya masih gagal tumbuh?
Keluarga adalah fondasi. Tapi fondasi ini rapuh bila tak dipelihara. Setiap tahap kehidupan keluarga dari pasangan muda, ibu hamil, bayi, anak remaja, hingga lansia memiliki tantangan sendiri. Pendekatannya pun tak bisa satu resep untuk semua. Maka membangun keluarga sehat, kuat, dan tangguh, sejatinya adalah proses pembangunan bangsa dalam bentuk yang paling dasar.
Namun kerja-kerja keluarga tidak berdiri sendiri. Di balik dapur-dapur yang berjuang menanak masa depan, ada struktur pendukung yang sering luput dari sorotan, yakni para petugas dan relawan di garis depan. Di kampung-kampung, di lorong-lorong desa, TPPS atau Tim Percepatan Penurunan Stunting menjadi tulang punggung intervensi gizi. Mereka bukan sekadar tim administratif.
Mereka adalah pemantik kesadaran. Mereka mengoordinasikan langkah, menghubungkan data dengan tindakan, dan menjembatani negara dengan kebutuhan paling mendasar warga demi kesehatan anak-anak mereka.
Lebih dari itu, peran PLKB (Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana) dan TPK (Tim Pendamping Keluarga) tak kalah krusial. Merekalah yang mengetuk pintu-pintu rumah, mendampingi ibu hamil yang kekurangan gizi, menyuluh remaja putri soal anemia, memastikan bayi ditimbang, imunisasi dijalankan, hingga menyuarakan pentingnya air bersih dan sanitasi. Mereka bukan pejabat tinggi, tapi langkah kecil mereka menjangkau tempat yang bahkan negara kadang tak hadir.
Program Gerakan Anak Asuh Cegah Stunting (GENTING) hadir sebagai bentuk konkret gotong royong mencegah stunting. Ia bukan sekadar program bantuan, tetapi bentuk kasih sayang sosial. Bahwa urusan gizi anak bukan hanya tanggung jawab ibunya, tapi juga komunitas, negara, dan kita semua. Dari pusat hingga desa, dari rumah hingga posyandu.
Ibu Mandiri, Anak Tetap Terasuh
Zaman ini menuntut perempuan untuk tampil dalam banyak peran sebagai ibu, pencari nafkah, sekaligus pengasuh utama. Data BPS mencatat, dari 100 perempuan angkatan kerja, 56 kini aktif bekerja. Angka ini naik dalam dua tahun terakhir, tetapi tantangan ikut membesar. Siapa yang menjamin anak-anak mereka tetap mendapatkan pengasuhan yang layak?
Program Taman Asuh Sayang Anak (TAMASYA) adalah solusi negara yang memahami dilema ini. Tempat penitipan anak berbasis kualitas dan keberlanjutan, yang memungkinkan perempuan untuk tetap produktif tanpa harus meninggalkan peran utamanya sebagai pengasuh. Karena Indonesia maju tidak hanya butuh laki-laki kuat, tetapi juga perempuan tangguh yang tidak harus memilih antara bekerja atau mengasuh.
Kita hidup di negara di mana peran ayah sering diukur dari nominal transfer bulanan. Padahal kehadiran emosional seorang ayah justru jauh lebih mahal nilainya. Sayangnya, sekitar 20,9 persen anak-anak di Indonesia kehilangan kehadiran ayahnya karena berbagai hal : perceraian, kematian, atau pekerjaan.
Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) menjawab kebutuhan yang selama ini sunyi. Ia mengajak para ayah untuk turun tangan, bukan hanya dalam urusan ekonomi, tapi dalam proses pengasuhan, pendidikan karakter, dan kedekatan emosional. Karena anak yang tumbuh dengan cinta dua arah dari ibu dan ayah memiliki daya tahan jauh lebih kuat untuk menghadapi zaman yang keras.
Indonesia juga sedang menuju puncak demografi. Satu dari lima penduduk akan berusia lanjut di tahun 2045. Jika tidak dirancang sejak dini, ledakan lansia ini bisa menjadi beban sosial. Tapi jika dikelola dengan baik, mereka bisa menjadi sumber kearifan, penjaga nilai keluarga, dan relawan komunitas yang tangguh.
Program Lanjut Usia Berdaya (SIDAYA) tak hanya mengasuh lansia, tapi juga memberdayakan mereka. Dengan prinsip active ageing sehat, merasa aman, dan tetap berpartisipasi, lansia bisa menjadi pelengkap harmoni keluarga. Bukan yang disingkirkan, tapi justru dirangkul sebagai penguat.
Tema Harganas 2025, Dari Keluarga untuk Indonesia Maju, bukanlah seruan normatif. Ia adalah pengingat bahwa jika keluarga gagal membesarkan generasi yang sehat dan tangguh, maka tak ada Indonesia Emas di tahun 2045. Masa depan tidak ditentukan oleh siapa yang duduk di kursi menteri, tapi oleh siapa yang duduk di meja makan, dengan siapa anak-anak itu tumbuh, dengan nilai apa mereka dibesarkan.
Maka di hari keluarga ini, mari tengok isi piring anak-anak kita. Mari lihat siapa yang menyuapinya, siapa yang mendongengkannya malam ini, siapa yang mendengarkan curhatnya minggu ini. Karena di situlah letak strategi besar bangsa ini, di balik senyum anak yang kenyang, sehat, dan disayang.
Dan mungkin, Indonesia Maju itu sesederhana menyuapi anak kita hari ini dengan cinta dan lauk yang cukup gizi. (*)
Comment